Kamis, 10 Juli 2008

Api di Bukit Menoreh 57

Namun sudah tentu Untara tidak akan mengecewakan anak muda itu. Karena itu maka jawabnya “Swandaru, kita harus memperhitungkan siapakah kira-kira yang akan menjadi senapati pengapit Macan Kepatihan. Seandainya mereka mempergunakan gelar Dirada Meta, maka sudah dapat dibayangkan, bahwa Sanakeling adalah salah seorang senapati pengapitnya. Salah seorang yang akan ditempatkan diujung gading gajah raksasa yang akan mengamuk itu. Sedang diujung yang lain, mungkin Macan Kepatihan akan menempatkan Alap-alap Jalatunda atau orang lain yang lebih baik daripada orang itu”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditebarkannya pandangan matanya berkeliling pringgitan. Dilihatnya diantara mereka, Widura dan Agung Sedayu disamping dirinya sendiri. Karena itu maka katanya dalam hati “Apakah kakang Untara tidak mau memberi aku kesempatan?”
Dan terdengarlah Untara berkata “Swandaru, aku ingin menempatkan paman Widura untuk melawan Sanakeling. Tak ada orang lain yang mampu melakukannya. Aku mempunyai perhitungan, bahwa Sanakeling akan menjadi pengapit kanan Macan Kepatihan, sehingga aku akan minta paman Widura mempimpin sayap kiri pasukan Sangkal Putung”
“Satu-satunya kemungkinan” sesis Swandaru “Lalu siapakah yang harus melawan Alap-alap Jalatunda?”
Untara mengerutkan keningnya. Apalagi ketika ia melihat sekali dua kali Swandaru memandang kearah Agung Sedayu, seolah-olah ia sedang membandingkan dirinya sendiri dengan Agung Sedayu itu. Karena itu maka kembali Untara berada dalam kesulitan. Apakah ia akan dapat memilih salah seorang dari mereka? Kalau ia menunjuk Swandaru, Agung Sedayu pasti tidak akan menjadi kecewa. Tetapi Swandaru sama sekali kurang pengalaman dalam perang yang memasang gelar-gelar sempurna.
Namun akhirnya, Untara menemukan jawabnya. Ditebarkannya pandangannya berkeliling dan akhirnya berhenti pada seseorang yang duduk agak dibelakangnya. Katanya “Disayap yang lain aku pasang Citra Gati”
Swandaru sekali lagi mengerutkan keningnya. Kini ia benar-benar salah tebak. Ia menyangka bahwa Untara akan memilih satu diantara mereka berdua, Agung Sedayu atau dirinya sendiri.
Namun sebelum ia menyatakan pendiriannya, terdengar Untara memberi penjelasan “Aku harus menempatkan seorang prajurit Pajang dalam gelar yang sempurna ini, supaya garis perintahku dapat tersalur dengan baik. Sebenarnya aku ingin menempatkan Agung Sedayu atau kau Swandaru. Tetapi ada yang belum kalian ketahui, saluran-saluran perintah dalam gelar perang yang sempurna. Nah, karena itu aku tempatkan saja Citra Gati itu disayap kanan. Meskipun demikian, Swandaru, kau dan Agung Sedayu akan merupakan ujung-ujung kuku dalam gelar Garuda Nglayang yang mungkin akan kita pergunakan”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Keputusan Untara adalah keputusan yang bijaksana. Bukan Agung Sedayu dan bukan Swandaru yang kedua-duanya bukan prajurit Pajang.
Tetapi kemudian Widura memotong pembicaraan itu “Bagaimana dengan Sumangkar? Siapakah yang akan menghadapinya bila Sumangkar itu ikut turun pula dalam laskar Jipang yang akan segera menyerbu itu?”
Semua yang hadir dalam pertemuan itu menjadi berdebar-debar karenanya. Mereka sadar akan kemampuan Sumangkar yang terkenal dengan adik seperguruan Patih Mantahun, yang memiliki nyawa rangkap didalam tubuhnya. Kesaktiannya sudah terbukti dapat mengimbangi Ki Tambak Wedi, hantu lereng gunung Merapi itu.
Tidak ada diantara mereka yang akan mampu mengimbangi Sumangkar itu, dan mereka semua menyadarinya. Tetapi harus ada orang yang terpilih diantara mereka. Padahal mereka masing-masing sudah terikat pada lawan-lawan yang tidak dapat mereka abaikan pula. Untara melawan Macan Kepatihan, Widura berhadapan dengan Sanakeling dan Citra Gati harus melawan Alap-alap Jalatunda. Apakah Agung Sedayu dan Swandaru yang akan dipersiapkan melawan Sumangkar itu?
Ketika mereka baru berteka-teki, terdengarlah Untara menjelaskan perhitungannya “Tak ada seorangpun diantara kita yang sanggup melawan Sumangkar. Namun meskipun demikian, kita akan mendapat seorang yang akan sanggup untuk mengimbanginya, Kiai Gringsing”
Para pemimpin laskar Pajang itu mengangkat wajah-wajah mereka. Terdengar mereka bergumam diantara mereka. Berulang kali terdengar mereka menyebut nama Kiai Gringsing itu. Namun belum seorangpun dari mereka yang tahu pasti siapakah Kiai Gringsing itu. Karena itu terdengar Sendawa meyahinkan dirinya “Siapakah Kiai Gringsing itu?”
Untara menarik alisnya. Agaknya orang-orangnya belum mengenal siapakah Kiai Gringsing itu. Beberapa orang sudah dapat meraba-raba, namun yang lain sama sekali belum mengenalnya.
Tetapi kini Untara tidak berahasia lagi. Untuk menentramkan orang-orangnya ia berkata “Orang yang kalian kenal setiap hari sebagai dukun yang baik itulah orangnya. Yang hampir setiap malam pergi berjalan-jalan dengan Swandaru dan Agung Sedayu. Yang hampir setiap hari berada diantara orang-orang yang sakit. Namanya Ki Tanu Metir”
Kembali terdengar mereka bergumam. Beberapa orang yang sudah menduganya tersenyum bangga atas ketepatan tebaknya. Tetapi kini mereka belum melihat, dimanakah orang itu. Karena itu maka Citra Gati berkata “Dimanakah Ki Tanu Metir itu sekarang?”
Untara mengangkat wajahnya. kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata “Panggilah Kiai Gringsing”
Agung Sedayu segera berdiri dan melangkah keluar pringgitan. Dicobanya untuk mencari Kiai Gringsing dipendapa, namun orang itu tidak kelihatan. Dengan segan Agung Sedayu turun kehalaman yang sudah menjadi semakin kelam. Dicarinya gurunya diantara para penjaga gerbang. Orang tua itu kadang-kadang berkelakar digardu penjagaan bersama-sama mereka yang bertugas.
“Aku tidak melihat Ki Tanu Metir sepanjang sore ini” berkata salah seorang penjaga.
“Apakah Ki Tanu Metir pergi keluar?”
“Aku tidak melihatnya” sahut penjaga itu “Entahlah sebelum aku bertugas disini”
“Siapakah yang bertugas sebelum kalian?”
“Diantaranya kakang Santa”
Agung Sedayupun bergegas-gegas mencari Santa dipendapa. Namun ternyata orang itu juga tidak melihat Ki Tanu Metir. Katanya “Aku tidak melihatnya”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Apakah Ki Tanu Metir sedang berada dibelakang? Agung Sedayupun kemudian mencoba mencarinya keperigi. Tetapi diperigi itupun Ki Tanu Metir tidak ditemukannya.
Satu-satunya kemungkinan tinggallah di banjar desa. Masih ada satu dua orang yang dirawat disana. Mungkin Ki Tanu Metir ada diantara mereka.
Karena itu maka Agung Sedayu segera pergi kepringgitan, memberitahukan kepada kakaknya, bahwa ia akan mencoba mencari Ki Tanu Metir ke banjar desa.
“Aku pergi bersamamu” sela Swandaru sebelum Untara menjawab.
Agung Sedayu mengangguk “Marilah” jawabnya.
Dan Untarapun kemudian bertanya “Apakah kau sudah mencari diseluruh halaman ini?”
“Sudah kakang” “Tidak seorangpun yang melihatnya?”
“Tidak kakang, para penjaga regolpun tidak melihat bahwa Ki Tanu Metir meninggalkan halaman”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Apabila dikehendakinya sudah tentu ia dapat pergi tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Meloncat dinding halaman belakang atau lewat manapun. Tetapi mungkin juga, hanya karena para penjaga tidak begitu memperhatikannya.
“Sore tadi aku masih bercakap-cakap dengan Ki Tanu Metir” Agung Sedayu menjelaskan.
“Kalau demikian” berkata Untara “Cobalah kau cari Ki Tanu Metir dibanjar desa”
Agung Sedayu dan Swandaru segera pergi meninggalkan kademangan. Malam sudah semakin kelam dan langitpun tampak gelap kelabu dilapis oleh mendung yang rata. Sekali-sekali asl menengadahkan wajahnya dan dilihatnya kesempatan lidah api berloncatan. Bintang-bintang jauh bersembunyi dibalik tabir yang hitam.
Agung Sedayu itupun segera terkenang pada waktu kakaknya Untara, membawanya pergi meninggalkan padukuhannya Jati Anom. Pada saat kakaknya itu mendapat berita bahwa Tohpati akan melanda Sangkal Putung untuk yang pertama kalinya. Alangkah jauh bedanya, perasaannya pada waktu itu dan perasaannya pada saat ini. Pada saat itu perasaannya diliputi oleh ketakutan dan kecemasan. Betapa ia menjadi gemetar. Namun ketika pundaknya telah terluka dan memancarkan darah, dan dirasakannya luka itu, serta desakan-desakan keadaan yang tidak dapat dihindarinya, maka pecahlah belenggu yang mengungkungnya selama ini. Ditemukannya nilai-nilai baru pada dirinya. Dan karena itulah maka kini Agung Sedayu sama sekali tidak lagi dicengkam oleh ketakutan, meskipun beberapa segi sifat-sifatnya masih juga melekat pada dirinya, sehingga Untara menganggapnya sebagai seorang anak yang terlalu banyak mempunyai pertimbangan. Akibatnya adalah, ragu-ragu, meskipun ragu-ragu ini bukanlah ungkapan dari bentuk ketakutan dan kecemasan.
Agung Sedayu dan Swandaru berjalan tergesa-gesa ke banjar desa. Mereka takut kalau hujan segera akan jatuh. Dengan demikian maka mereka akan menjadi basah kuyup.
“Alangkah sepi malam ini” desis Agung Sedayu.
“Mungkin beberapa orang mendapat firasat buruk. Mungkin beberapa orang telah menyangka bahwa bahaya besok pagi akan mengancam kademangan ini” sahut Swandaru “Tetapi mungkin karena mendung yang tebal”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Besok pagi-pagi buta mereka pasti sudah mengungsi kekademangan dan ke banjar desa. Hati Agung Sedayu berdesir ketika ia mendengar tangis bayi memecah kesepian malam. Tangis itu terdengar betapa rawannya diantara bunyi guruh yang menggelegar dilangit.
“Kenapa anak itu menangis?” desisnya.
Swandaru heran mendengar desis itu. Ketika ia berpaling, dilihatnya Agung Sedayu masih memandangi rumah yang memancarkan tangis bayi itu.
“Bayi-bayi menangis dimalam hari” sahut Swandaru “Mungkin kakunya digigit nyamuk, mungkin terkejut mendengar tikus melonjak-lonjak diatap rumahnya”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi hatinya selalu tersentuh-sentuh oleh tangis itu. Besok pagi-pagi bayi-bayi di Sangkal Putung akan dibangunkan oleh ibu-ibunya. Digendongnya dan dibawanya berlari-lari kekademangan sambil menggandeng anak-anaknya yang lebih besar. Anak-anak itu berlari-larian dengan hati yang cemas, secemas hatinya dahulu, pada saat ia harus pergi mengikuti kakaknya dari Jati Anom. Alangkah pahitnya perasaannya waktu itu. Ia pernah mengalaminya. Ketakutan. Dan besok perempuan dan anak-anak di Sangkal Putung akan mengalaminya pula, ketakutan.
Agung Sedayu dan Swandaru terkejut ketika guruh meledak dengan kerasnya, seakan-akan menggetarkan seluruh bumi. Cahaya yang terang benderang menjilat langit. Hanya sesaat, kemudian gelap kembali.
Keduanya berjalan semakin cepat. Banjar desa tidak terlalu jauh. Sekali mereka melampaui gardu perondan. Beberapa orang duduk dengan malasnya dibawah cahaya pelita. Tetapi beberapa orang yang lain berdiri dan berjalan hilir mudik dimuka gardu itu. Ketika mereka melihat dua sosok bayangan dalam gelapnya malam, segera mereka menundukkan tombak mereka sambil bertanya “Siapa?”
“Aku” sahut Swandaru “Swandaru Geni.
“Oh” gumam penjaga itu, yang segera mengenal suara Swandaru “Akan kemanakah adi berdua?” bertanya penjaga itu.
“Banjar desa” sahut Swandaru pendek.
Penjaga itu tidak bertanya lagi. Tetapi kemudian Agung Sedayulah yang bertanya “Apakah kalian melihat Ki Tanu Metir lewat jalan ini menuju kebanjar desa?”
Penjaga itu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabna “Tak seorangpun lewat sejak senja”
“Sore tadi?” desak Sedayu.
“Agaknya juga tidak”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya “Baiklah aku melihatnya di banjar desa”
“Silakan. Tetapi hati-hatilah. Jalan tampaknya terlalu sepi”
“Kalian terpengaruh oleh suasana” sahut Swandaru “Mendung yang telbal, guruh dan kilat yang memancar dilangit menjadikan malam ini sangat sepi”
Peronda itu mengangkat alisnya. Sekali ditatapnya langit yang gelap pekat. Kemudian gumamnya seolah-olah kepada diri sendiri “Ya, mungkin adalah Swandaru benar”
Swandaru dan Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Dengan tergesa-gesa mereka meninggalkan gardu perondan itu langsung menuju banjar desa. Sangkal Putung. Jarak mereka sudah tidak terlalu jauh lagi. Namun karena angin yang basah dan kilat yang bersambung dilangit maka Agung Sedayu dan Swandaru itu seakan-akan berlari supaya mereka tidak kehujanan.
“Perintah paman Widura belum sampai kepada para perondan itu bukan?” bertanya Swandaru
“aku kira belum” sahut Agung Sedayu.
“Namun seakan-akan mereka sudah tahu bahwa mereka sudah dihadapkan pada bahaya”
“Firasat seorang prajurit” jawab Agung Sedayu.
Mereka sama sekali tidak memerlukan waktu terlalu lama. Segera mereka sampai keregol banjar desa disamping sebuah lapangan.
Ketika mereka dengan tergesa-gesa menyusup regol itu, maka sekali lagi mereka terhenti ketika dua ujung tombak menghalangi mereka “Siapa?”
“Swandaru Geni” sahut Swandaru.
“Oh” desis penjaga itu “Kalian mengejutkan kami. Tidak pernah kalian datang dimalam hari begini”
“Kau yang tidak pernah melihat kedatangan kami” sahut Agung Sedayu “Hampir setiap malam kami datang kemari, meskipun hanya lewat disamping regol ini”
Penjaga itu mengerutkan keningnya “Aku tidak pernah melihatnya”
Agung Sedayu tersenyum “Mungkin. Mungkin kau sedang tidur. Mungkin orang lain yang bertugas disini, dan mungkin memang aku berjalan terlalu jauh sehingga kau tidak akan dapat melihatnya dimalam hari”
“Oh” kembali penjaga itu berdesis “Tetapi kau sekarang singgah dibanjar ini. Adalah sesuatu yang penting?”
“Tidak” jawab Agung Sedayu “Kami hanya ingin mencari Ki Tanu Metir”
“Tidak ada disini” sahut penjaga itu.
“Jangan main-main” sela Swandaru Geni. “Ada yang penting bagi dukun tua itu”
“Ya, bapak dukun itu tidak ada disini”
“Bukankah disini masih ada orang yang perlu perawatannya?”
“Siang tadi ia datang, tetapi tidak terlalu lama. Sesudah itu ia pergi, dan ia tidak kembali lagi”
“Tadi sore aku masih bercakap-cakap dikademangan” gumam Agung Sedayu.
Penjaga itu menggeleng “Entahlah”
Meskipun demikian, namun agaknya Agung Sedayu dan Swandaru masih belum puas, sehingga hampir bersamaan keduanya berkata “Kami akan mencoba melihatnya”
Penjaga itu tersenyum “Kami tidak akan menyembunyikan dukun tua itu. Apakah ada orang sakit dikademangan?”
“Seluruh kademangan Sangkal Putung sedang sakit” sahut Swandaru.
Penjaga itu tidak tahu maksud Swandaru. Tetapi ia menjawab “Kalau demikian silakan. Mungkin aku tidak melihatnya memasuki regol, apabila dukun tua itu mempunyai aki panglimunan sehingga dapat melenyapkan diri dari pandangan mata”
Swandaru dan Agung Sedayu segera melangkah masuk. Di banjar desa mereka melihat beberapa orang prajurit yang bertempat tinggal dibanjar desa itu, berbaring-baring dengan tenangnya. Bahkan ada pula diantara mereka yang duduk menghadapi pelita sambil bermain macanan.
Ketika mereka melihat Swandaru dan Agung Sedayu memasuki pendapa bajar desa itu, maka beberapa orang yang sedang berbaring segera bangun dan yang bermain macanan itupun berhenti.
“Siapa pemimpin kelompok disini?” bertanya Agung Sedayu.
Orang yang sedang menghadapi permainan macanan menjawab “Kakang Sendawa. Kini sedang dipanggil ke kademangan”
“Oh” desis Swandaru “Aku melihatnya tadi. Tetapi apakah Ki Tanu Metir tidak ada disini sekarang?”
“Tidak” jawab mereka serempak.
Agung Sedayu menarik nafas. “Aneh” sesahnya.
“Biasanya guru selalu mengatakan, kemana ia pergi” bisik Swandaru.
Sesaat mereka berdiri saja seperti patung dipendapa banjar desa itu. Mereka mencoba mengingat-ingat kemanakah kira-kira Ki Tanu Metir itu pergi. Tetapi mereka sama sekali tidak dapat menemukan jawabnya.
“Justru pada saat yang penting” kembali Agung Sedayu berdesah.
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya “Marilah kita laporkan kepada paman Widura dan kakang Untara”
Agung Sedayu mengangguk. Kepada orang yang duduk disamping pelita, Agung Sedayu berkata “Baiklah aku kembali ke kademangan. Sebentar lagi kakang Sendawa akan datang membawa berita penting untuk kalian. Sejak kini jangan lepaskan senjata kalian dari tangan”
Yang mendengar kata-kata Agung Sedayu itu menjadi berdebar-debar. Namun mereka adalah prajurit-prajurit, sehingga isyarat itu sudah cukup bagi mereka sebagai isyarat bahwa keadaan menjadi semakin berbahaya.
Meskipun demikian ada yang bertanya “Apakah yang kira-kira akan terjadi? Tohpati akan datang malam ini?”
“Tunggulah kakang Sendawa” jawab Agung Sedayu. “Ia akan memberikan perintah kepada kalian. Segera ia akan kembali meskipun seandainya hujan segera tercurah dari langit. Karena itu bersiaplah menghadapi setiap kemungkinan”
Sejenak para prajurit dibanjar desa itu saling berpandangan. Namun apa yang dikatakan Agung Sedayu dan Swandaru telah cukup banyak bagi mereka sebagai suatu perintah untuk bersiap sepenuhnya. Karena itu maka selah seorang dari mereka berkata “Jadi kami harus berada dalam kesiap-siagaan tertinggi?”
“Ya” sahut Agung Sedayu.
Mereka, laskar Pajang di banjar desa itupun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Kesiap-siagaan tertinggi adalah pertanda bahwa sebentar lagi mereka harus menghadapi peperangan. Atau tanda-tanda peperangan itu telah semakin dekat.
“Sudahlah” Agung Sedayu kemudian minta diri “Kami akan mencari dukun tua itu”
“Silakan” jawab beberapa orang serempak.
Sepeninggal Agung Sedayu dan Swandaru diantara mereka terdengar salah seorang berkata “Seperti hari-hari yang lalu, Tohpati mencoba membuat kita tidak bisa tidur, sedang mereka sendiri tidur mendengkur dikandangnya”
“Jangan kehilangan kewaspadaan” sahut kawannya sambil berdiri “Mungkin kali ini mereka benar-benar datang untuk memenggal lehermu. Karena itu lebih baik kau sediakan pedangmu. Apakah Tohpati itu tidak membawa senjata, maka pedangmu akan berguna bagimu. Ingat, senjata Tohpati hanyalah sepotong tongkat yang berkepala tengkorak. Bukan alat yang baik untuk memotong kepala. Ia akan berterima kasih kalau kau sediakan pedang untuknya”
Orang yang pertama meraba lehernya yang pajang. Jawabnya “Sayang sekali. Leher ini adalah lelher yang jenjang. Dulu istriku jatuh cinta kepadaku karena leher ini. Sekarang, ketika anakku telah genap sepuluh, maka leher ini tidak pernah lagi dikagumi oleh istriku itu. Meskipun demikian, aku tidak akan menyerahkannya kepada siapapun”
Kawannya tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. perlahan-lahan ia berjalan kesudut pendapa banjar itu mengambil sebuah tombak pendek, sambil bergumam kepada diri sendiri dibelainya senjatanya itu “Malam sangat dingin. Marilah, tidur bersama ayah”
Kawan-kawannya memandanginya sambil tertawa. Namun satu demi satu merekapun berdiri, berjalan ketempat senjata masing-masing dan mengambilnya. Ketika mereka berbaring lagi, maka mereka telah memeluk setiap senjata mereka dengan eratnya.
“Tidur” berkata salah seorang dengan lantangnya “Tidurlah sepuas-puasnya supaya besok menjelang fajar, kita telah segar kembali. Mungkin Sangkal Putung akan menerima tamu”
“Atau bahkan sebelum kau sempat tidur kau harus sudah bangun lagi”
Tak ada yang menyahut. Pendapa banjar desa itu tiba-tiba menjadi sangat sepi. Masing-masing kini telah terbaring diam. Tidak ada lagi yang bermain macanan. Angan-angan mereka dicengkam oleh gambaran yang beraneka. Masing-masing memandang persoalannya menurut kepentingan dan kegairahan masing-masing. Namun mereka semuanya menunggu seseorang, Sendawa.
Sementara itu Agung Sedayu dan Swandaru telah berdiri dijalan kembali kek kademangan. Sejenak mereka termangu-mangu. Apakah mereka cukup melaporkannya kepada Untara bahwa Ki Tanu Metir tidak mereka temukan, atau mereka masih akan mencari ketempat yang lain?
“Bagaimana?” bertanya Swandaru Geni.
Agung Sedayu terdiam sejenak. Ketika ia mengangkat wajahnya, maka dilihatna mendung menjadi semakin tebal dan kilat semakin banyak berkeliaran dilangit. Angin yang lembab mengalir semakin kencang, menggoyang-goyangkan ujung-ujung pepohonan dengan suara yang riuh.
“Kakang Untara harus cepat mengambil kesimpulan. Kalau tidak, maka kita tidak cukup waktu untuk menyiapkan diri malam ini” berkata Agung Sedayu.
“Ya, aku juga masih harus menyiapkan anak-anak muda Sangkal Putung. Agaknya mereka malam ini betebaran digardu-gardu. Dibanjar ini aku tidak melihat mereka” sahut Swandaru Geni, namun ia meneruskan “Tetapi mungkin pula mereka berkumpul dirumah Tima yang sedang memperingati selapan kelahiran anaknya yang pertama”
“Kalau mereka berkumpul disana, maka tugasmu akan berkurang” berkata Agung Sedayu pula “Kau akan menemukan mereka bersama-sama sekaligus”
“Ya” sahut Swandaru “tetapi sekarang bagaimana?”
“Kita kembali” jawab Agung Sedayu “Nanti kalau kakang Untara telah menjatuhkan perintah terakhir, biarlah kita mencarinya lagi”
Swandaru mengangguk-anggut, desisnya “Marilah”
Keduanyapun kemudian berjalan tergesa-gesa kembali kekademangan. Sekali-sekali mereka melihat lidah api memancar menyilaukan. Namun sekejap, mereka telah berada dalam kelam kembali. Ketika mereka sampai dimuka gardu perondan, maka berkata Agung Sedayu kepada mereka “Tingkatkan kesiagaan”
Para penjaga itu mengangkat wajah-wajah mereka. Terdengar salah seorang bertanya “Apakah Kiai Dukun itu kalian ketemukan?”
“Tidak. Kami masih harus mencarinya. Tetapi tingkatkan kewaspadaan” sahut Agung Sedayu.
“Apakah ada bahaya disekitar Sangkal Putung?”
“Kalian akan segera mendapat perintah itu”
“Terima kasih” sahut diantara mereka. Dan Agung Sedayupun kemudian melihat beberapa orang yang duduk terkantuk-kantuk diatas gardu berloncatan turun setelah meraih senjata masing-masing.
“Biarlah kita mengadakan ronda keliling diwilayah perondaan kami”
“Silakan” sahut Agung Sedayu “Kami akan segera kembali sebelum hujan”
Agung Sedayu dan Swandaru kini berjalan semakin cepat. Bersamaan dengan guruh yang menggelegar dilangit, mereka merasa beberapa tetes air menyentuh tubuh mereka.
Ketika Swandaru menengadahkan telapak tangannya terdengar dikejauhan suara gemerasak semakin lama menjadi semakin keras dan semakin dekat.
“Hujan yang lebat itu telah datang” desis Swandaru.
“Ya” sahut Agung Sedayu.
Langkah-langkah merekapun menjadi semakin cepat pula. Regol kademangan kini sudah berada beberapa puluh langkah saja daripada mereka.
Ketika bunyi hujan yang lebat itu seolah-olah jatuh menimpa mereka, maka mereka telah meloncat masuk kedalam regol halaman kademangan. Dibawah atap regol itu Swandaru menarik nafas sambil berdesah “Hem, tepat. Demikian hujan tercurah dari langit, kita telah sampai disini”
Agung Sedayupun mengibas-ngibaskan bajunya. Beberapa titik air telah membasahinya. Ketika ia memandang kehalaman, tampaklah halaman itu tersaput oleh air hujan yang benar-benar seperti tertumpah dari udara. Sinar pelita yang tergantung ditiang regol halaman memancarkan cahayanya yang redup kemerah-merahan menembus butir-butir air hujan yang pepat padat.
“Kita harus menyeberangi halaman itu” desis Agung Sedayu.
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Sahutnya “Hujan lebat bukan main. Kita akan basah kuyup meskipun jarak pendapa itu tidak lebih dari limabelas duapuluh langkah’
Swandaru memandang berkeliling, kemudian gumamnya “Adakah disini payung belarak?”
Salah seorang penjaga diregol itu menggeleng “Sayang tidak ada”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Para penjaga diregol, Agung Sedayu dan Swandaru terkejut ketika mereka mendengar petir meledak dekat sekali diatas regol halaman itu, bahkan seakan-akan meledak didalam kepala mereka masing-masing.
“Gila” umpat Swandaru sambil menyumbat lubang kupingnya. Tetapi ledakan itu telah lewat. Dan suara ledakan itu telah terlanjur masuk kedalam lubang kupingnya.
Hujan semakin lama menjadi semakin lebat. Butiran-butiran air yang berjatuhan menjadi semakin padat, sehingga bayangan yang keputih-putihan membusa dihalaman kademangan iu. Sinar lampu yang menyala kemerah-merahan hanya mampu menerangi tetesan-tetesan air diteritisan regol halaman itu. Dan air yang tergenang dihalaman semakin lama menjadi semakin banyak, sehingga kemudian air itupun merambat naik kelantai regol dan dengan derasnya mengerutkan keningnya mengalir keluar dibawah kaki-kaki mereka yang berada didalam regol halaman. Beberapa orang penjaga meloncat naik keamben yang tinggi. Namun dua orang lain terpaksa harus tetap berada ditempat mereka sambil memegangi tombak-tombak mereka. Mereka itulah yang sedang mendapat giliran berjaga-jaga. Mereka berdiri ditempatnya meskipun kaki-kaki mereka terbenam didalam genangan air yang melimpah dari halaman mengalir kejalanan.
Dalam hiruk pikuk air hujan yang jatuh dari langit itu, terdengar Agung Sedayu bertanya “Apakah kalian sudah melihat Ki Tanu Metir datang?”

Tidak ada komentar: