Senin, 14 Juli 2008

Api di Bukit Menoreh 59

Swandaru menjadi bangga akan kesediaan anak-anak Sangkal Putung menghadapi bahaya. Mereka benar-benar telah siap lahir batin untuk membela tanah yang digarapnya setiap hari, tanah sumber hidupnya, kampung halaman.
“Bagus” sahut Swandaru “Kalau demikian, kalian harus segera berbuat sesuatu. Waktumu terbatas sekali. Siapkan beberapa anak muda untuk membantu Jagabaya. Serahkan beberapa orang dari kelompok tiga. Mereka harus membantu menyelenggarakan pengungsian dan kemudian mengadakan pengawalan atas kademangan. Hubungi pimpinan kelompok orang-orang yang sudah setengah umur. Merekapun harus membantu penyelenggaraan pengungsian dan pengawalan atas kademangan. Tetapi separo dari mereka yang masih sanggup ikut pula besok pagi-pagi menyongsong musuh, kalian harus bersiap dihalaman banjar desa. Tidak akan ada tanda bahaya dibunyikan. Satu-satunya tanda justru kentong dara muluk menjelang terang tanah. Atau kalau perlu dipercepat. Ingat, dara muluk”
Kelima anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka sudah dapat membayangkan apa yang harus mereka lakukan bersama ayah-ayah mereka, paman-paman mereka, dan bahkan kakek-kakek mereka. Setiap laki-laki di Sangkal Putung. Setiap kelompok mempunyai tugasnya masing-masing. Kelompok anak-anak muda, kelompok orang-orang yang lebih tua dan kelompok orang-orang setengah umur yang masih sanggup menggenggam senjata. Bahkan anak-anak tanggungpun akan diikut-sertakan dalam kesempatan yang sesuai dengan hasrat yang menyala didalam dada mereka.
Ketika semuanya sudah menjadi jelas, maka berkata Agung Sedayu “Jangan kecewakan Tima yang telah terlanjur menyediakan suguhan buat kalian. Tetapi usahakan dengan bijaksana supaya kerja besok tidak terbengkalai”
“Baik kakang” jawab salah seorang dari mereka “Aku akan berusaha mempercepat hidangan itu. Sesudah itu, kami akan bekerja keras”
“Bagus, cobalah untuk beristirahat. Jangan kau peras habis tenagamu malam ini” sambung Agung Sedayu.
“Baik”
“Kalau demikian, kembalilah kependapa. Pakaian kalianpun telah basah pula”
“Tidak apa. Kami hanya tinggal sebentar duduk diantara mereka”
Setelah semuanya menjadi semakin jelas, maka Swandaru dan Agung Sedayupun segera berlari kembali kependapa bersama kelima anak-anak muda pemimpin kelompok itu. Ditangga pendapat Agung Sedayu dan Swandaru segera minta diri kepada Tima yang berdiri dengan mulut ternganga. Ia sama sekali tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh Agung Sedayu dan Agung Sedayu. Sehingga terloncat dari mulutnya “Lalu apakah yang kalian kehendaki datang dalam pakaian yang basah kuyup tanpa baju, kemudian pergi sebelum aku memberikan apa-apa?”
Swandaru tertawa “Nanti aku datang kembali”
Tima tidak sempat berkata apapun lagi. Mereka yang dipendapa hanya sempat melihat Swandaru dan Agung Sedayu meloncat kedalam hujan yang lebat dan hilang ditelan oleh kegelapan.
Tima masih berdiri diatas tangga pendapa rumahnya. Ia merasa aneh atas sikap Swandaru itu. Namun telah terasa pula didalam hatinya, bahkan setiap orang dan anak muda yang duduk dipendapa itu, bahwa sesuatu yang penting telah terjadi. Segera mereka menghubungkan perintah kesiapsiagaan yang meningkat akhir-akhir ini. Latihan-latihan yang lebih berat, dan kewaspadaan yang semakin tajam.
Kini yang menjadi pusat perhatian mereka adalah kelima anak-anak muda yang masih berdiri ditangga pendapa. Meskipun pakaian mereka basah juga, namun mereka masih sempat naik kependapa dan duduk kembali ditempat masing-masing.
Tima yang tidak sabar segera bertanya kepada salah seorang dari mereka “Apakah yang penting?”
Yang ditanya menggeleng “Tidak ada”
“Kau menyimpan rahasia itu?” bertanya anak muda yang lain.
“Tidak. Swandaru hanya datang untuk mempercepat nasi megana yang telah dipersiapkan supaya tidak menjadi terlalu dingin”
Tima segera mengerti. Kini ia yakin, bahwa pertemuan itu telah dikejar waktu. Ada sesuatu yang penting akan terjadi. Demikian juga orang-orang lain dipendapa itu. Sehingga karena itu maka Tima berkata “Baik. Aku akan percepat gelombang hidangan yang telah kami siapkan. Bukankah kalian ditunggu oleh tugas-tugas yang penting ?”
Kelima orang anak muda itu tersenyum. Dan senyumnya itu telah membenarkan ucapan Tima yang segera bergegas kebelakang.
Pertemuan itu cepat selesai jauh sebelum waktu yang ditentukan. Kelima anak-anak muda pemimpin kelompok segera memanfaatkan pertemuan itu. Sehingga sejenak kemudian, beberapa anak-anak muda segera berlari-larian berpencaran dari rumah Tima untuk melakukan pekerjaan masing-masing.
Sebenarnyalah Sangkal Putung didalam malam yang kelam, dibawah cucuran hujan yang lebat itu, telah terbangun karena sebuah kejutan yang menegangkan. Hilir mudik anak-anak muda dan orang-orang yang bertugas menyelenggarakan penyingkiran perempuan dan anak-anak, masuk keluar pintu-pintu rumah, mengetuk pintu-pintu yang masih tertutup dan memberitahukan kepada mereka untuk mengamankan diri mereka bersama anak-anak mereka.
Rakyat Sangkal Putung benar-benar dicengkam oleh kecemasan. Cemas akan datangnya malapetaka besok, dan cemas akan hujan angin yang kencang. Namun mereka terpaksa meninggalkan rumah-rumah mereka, membawa barang-barang mereka yang paling berharga. Dibawah payung-payung belarak dan daun-daun pisang, mereka berbondong-bondong pergi ke kademangan mengamankan diri dan barang-barabg mereka. Tangis anak-anak kecil telah memecahkan kesepian kademangan itu. Obor-obor blarak berlarian didalam kelamnya malam. Namun sebagian dari obor-obor itu terbunuh oleh hujan yang masih saja tercurah dari langit. Tetapi pengungsian berjalan terus.
Laskar Pajang yang berada dikademangan telah menyingkirkan diri mereka sendiri dari pendapa. Mereka betebaran digandok dan disetiap sudut rumah itu untuk memberi tempat kepada para perempuan dan anak-anak yang segera akan memenuhi pendapa itu.
Pendapa kademangan Sangkal Putung itu segera menjadi hiruk pikuk. Rengek anak-anak diantara tangis bayi. Sedangkan beberapa orang perempuan menjadi gemetar ketakutan. Tetapi mereka menjadi agak tentram ketika mereka melihat beberapa orang laki-laki, suami-suami mereka, anak-anak mereka, dan saudara-saudara mereka telah siap dengan senjata ditangan mereka. Apalagi ketika mereka melihat beberapa orang prajurit Pajang yang hilir mudik diantara mereka. Seolah-olah mereka berada didalam pelukan tangan-tangan yang akan sanggup melindunginya.
Ternyata waktu merayap terlampau cepat. Prajurit-prajurit Pajang dan laki-laki Sangkal Putung yang besok harus maju berperang, sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk beristirahat. Karena itu maka Untara segera mengambil kebijaksanaan lain. Setiap orang yang besok akan ikut serta dalam perlawanan terhadap laskar Jipang langsung digaris peperangan harus meninggalkan kademangan dan pergi kebanjar desa.
Demikianlah maka sesaat kemudian seperti banjir yang mengalir mereka meninggalkan halaman kademangan. Dan sesaat kemudian laki-laki dihalaman kademangan itu, menjadi semakin susut, tetapi sebaliknya perempuan dan anak-anak menjadi bertambah-tambah.
Yang tinggal dihalaman itu, selain para pengungsi, tinggallah beberapa orang laki-laki dan para pemuda yang bertugas mengawal mereka. Tetapi disamping mereka, hampir setiap laki-laki yang seharusnya tidak turut dalam setiap persiapan karena umur-umur mereka yang telah lanjut, ternyata tidak mau ketinggalan pula. Meskipun mereka telah dibebaskan dari kewajiban itu, namun mereka tidak dapat tinggal diam.
Seorang yang berambut putih seperti kapas berkata kepada temannya yang berdiri disampingnya, diteritisan kademangan itu “Hem. Kenapa aku tidak diikutsertakan dalam barisan yang besok akan menyongsong lawan itu?”
Temannya yang sudah tidak bergigi satupun menjawab “Aku juga menyesal. Kemarin aku sudah berkata apabila ada bahaya datang setiap saat, aku sanggup untuk maju kegaris perang terdepan. Tetapi Ki Jagabaya tertawa sambil menunjuk gigiku yang telah habis ini “Gigimu telah habis Kek”
Aku menjawab “Bukankah aku tidak akan menggigit musuh-musuhku? Tetapi tanganku masih kuat mengayunkan pedang. Jagabaya itu tidak percaya. Aku telah memberinya bukti. Dengan sebuah kapak, aku membelah sepotong balok dihalaman rumah Ki Jagabaya. Tetapi Ki Jagabaya masih juga tertawa sambil menjawab “Balok itu tak dapat bergerak kek. Kalau lawanmu itu mampu menghindar dan menjauh, kau akan kehabisan nafas untuk mengejarnya”. Terlalu, terlalu Ki Jagabaya itu. Meskipun demikian aku sekarang membawa kapakku itu. Aku akan membuktikan bahwa aku masih mampu membelah kepala musuh-musuhku”
Temannya yang berambut putih kapas mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Akupun masih dapat memanjat pohon kelapa dihalaman rumahku. Kau tahu, dirumahku ada duapuluh lima pohon kelapa. Aku memanjatnya berganti-ganti tanpa istirahat”
Temannya yang tak bergigi mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Jawabnya “Itulah. Mereka menyangka kita sudah pikun. Nanti, apabila orang-orang Jipang itu ada yang merembes sampai kehalaman ini, akan aku buktikan kemampuanku”
Mereka kemudian berdiam diri. Dengan tajamnya mereka mengamati beberapa orang prajurit Pajang yang masih bertugas ditegol halaman itu. Diteritisan yang lain mereka melihat anak-anak muda yang telah bersiaga penuh. Sebagian dari mereka menyeret pedang dilambung mereka, dan sebagian lagi memandi tombak dipundak mereka.
Kedua orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka berbangga didalam hati mereka. Tetapi mereka lebih berbangga hati lagi, ketika mereka melihat orang-orang tua sebaya dengan mereka, membawa senjata-senjata pula ditangannya. Seorang yang duduk ditepi pendapa, meskipun hampir seluruh kulitnya telah berkeriput, namun tangannya masih juga menggenggam sebilah pedang karatan. Pedang yang agaknya tidak pernah disentuhnya selama ini. Namun justru pedang-pedang yang karatan itu merupakan senjata yang berbahaya. Luka yang ditimbulkannya dapat menjadikan penderitanya bengkak dan keracunan. Seorang yang lain sibuk membelai cucunya yang menangis. Ibu anak itu sedang menyusui bayinya yang menangis pula. Tetapi anak yang menangis dipangkuan kakeknya itu masih sempat mempermainkan hulu keris kakeknya.
“Jangan dicabut ngger” desis kakeknya. Tetapi cucunya melengking-lengking ingin melihat benda itu.
“Hem” desis kakeknya. “Mintalah yang lain”
Cucunya terdiam ketika seorang perempuan yang lain memberinya sepotong jenang a lot kepadanya.
Pendapa, pringgitan, bahkan ruangan dalam dan gandok kademangan itu benar-benar telah penuh sesak. Tak ada setapak tempatpun yang masih kosong. Anak panah yang malang mujur terbaring, dan ibu-ibu mereka yang duduk bersimpuh diantara mereka. Mereka sama sekali tidak memperhatikan lagi pakaian mereka yang basah kuyup.
Sedang dibawah pendapat itu, diteritisan gandok dan dibelakang kademangan, sebagian anak-anak muda berdiri berjajar-jajar dengan sebagian laki-laki Sangkal Putung dalam kesiagaan. Hujan yang lebat terasa menjengkelkan selaki. Tetapi mereka sama sekali tidak kehilangan kewaspadaan. Setiap saat tangan-tangan mereka siap mengangkat senjata mereka. Sedang diregol halaman beberapa prajurit Pajangpun selalu berada dalam kesiagaan penuh.
Prajurit-prajurit yang lain, laki-laki Sangkal Putung dan anak-anak muda mereka, yang besok mendapat tugas menyongsong musuh, berjalan dalam iring-iringan kebanjar desa. Beberapa orang diantara mereka terutama anak-anak mudanya, berjalan langsung menuju kebanjar itu dari rumah masing-masing. Sedangkan ayah-ayah mereka terpaksa mengantar istri-istri mereka, dan anak-anak mereka yang masih kecil lebih dahulu kekademangan.
Demikianlah maka bajar desa dan lapangan dimukanya telah menjadi pusat persiapan untuk menghadapi lawan-lawan mereka besok.
Demikianlah maka semakin jauh malam memanjat kepuncaknya, maka Sangkal Putung menjadi semakin sibuk. Persiapan-persiapan menjadi semakin ketat, dan setiap dada menjadi semakin berdebar-debar. Bagi laskar Sangkal Putung, adalah untuk pertama kalinya mereka akan menghadapi lawan-lawan mereka dengan gelar yang sempurna. Namun Widura berkata kepada mereka “Apa yang akan kalian alami tidak akan jauh berbeda dari setiap pertempuran yang pernah terjadi. Kalian hanya lebih terikat pada kerjasama dalam gelar yang telah ditentukan. Namun untuk selanjutnya apabila kalian selalu ingat kepada segala petunjuk yang pernah diberikan kepada kalian, maka kalian tidak akan menemui kesulitan apa-apa. Satu kelompok prajurit Pajang akan menuntun kalian, apa yang harus kalian lakukan”
Laskar Sangkal Putung itu menjadi berbesar hati. Tetapi mereka tidak cukup terlatih seperti prajurit Pajang dan para prajurit Jipang yang mampu bertempur sehari penuh. Mulai pada saat matahari terbit, dan baru berhenti pada saat matahari terbenam. Mereka telah cukup dapat mengatur diri mereka untuk menyesuaikan dengan keadaan itu. Sedangkan laskar Sangkal Putung masih belum pernah melakukannya. Peperangan yang pernah terjadi tidak sampai melampaui tengah hari. Dan pertemuran malampun tidak sampai separo malam. Kini apabila kedua pihak telah bertekad untuk melakukan peperangan dalam tingkat terakhir maka mereka harus berani menghadapi kemungkinan itu.
Untuk menghadapi keadaan ini Untara dan Widura mempunyai cara mengatasinya.
“Kita harus menyediakan tenaga cadangan” berkata Untara
“Ya” Widura membenarkan “Sebagian dari mereka harus tetap segar. Kalau kawan-kawan mereka sesudah tengah hari akan mengalami kekendoran dan kelelahan, maka mereka harus turun kegaris perang. Bukankah begitu?”
“Ya paman” jawab Untara “Aku kira jumlah kita bersama dengan laskar Sangkal Putung melampaui jumlah prajurit Jipang. Karena itu maka kita akan dapat menyimpan tenaga cadangan disamping mereka yang bertugas dikademangan dan digardu-gardu. Apabila kita ternyata terdesak oleh kekuatan mereka, maka sebagian laskar cadangan itu dapat kita turunkan kemedan, berangsur-angsur. Dan apabila perlu, maka sebagaimana peronda digardu-gardu dapat ditarik seluruhnya. Digardu-gardu itu kita tempatkan dua orang pengawas saja, yang apabila keadaan memaksa mereka hanya bertugas untuk melaporkan keadaan”
“Ya, semua tenaga dapat penyaluran sewajarnya menurut keadaan dan kekuatan lawan. Pengawal di kademanganpun kalau perlu dapat dikurangi” sahut Widura.
Kesepakatan pendapat itulah yang kemudian mereka pergunakan untuk mengatur laskar Sangkal Putung dan prajurit Pajang. Sekali lagi segenap pemimpin kelompok bertemu. Dan sekali lagi Untara memberi penjelasan, apa yang harus dilakukan dan apa yang harus diperhatikan.
Setelah itu maka segala persiapan telah selesai. Saat yang pendek itu dapat mereka pergunakan untuk beristirahat. Beberapa orang dibelakang merebus air sambil menghangatkan tubuhnya. Sedang beberapa orang yang masih sakit, yang ditempatkan dibanjar desa itu menjadi kecewa, bahwa mereka tidak dapat ikut serta kali ini menyongsong pula kedatangan Macan Kepatihan.
Ketika malam telah melampaui pusatnya, maka Untara telah mengirim dua orang berkuda untuk menghubungi para pengawas digardu terdepa. Namun mereka belum melihat sesuatu dan bahkan para pengawas yang langsung berada dilingkungan lawanpun belum memberikan laporan apa-apa
Tetapi Untara dan Widura idak melemahkan kesiagaan. Mereka tetap dalam kesiapan. Setiap saat laskar di banjar desa itu dapat digerakkan.
Namun demikian, masih ada yang selalu membayangi perasaan Untara, Widura dan bahkan beberapa orang Sangkal Putung yang lain. Ki Tanu Metir masih belum tampak diantara mereka. Sehingga semakin dekat fajar menyingsing, harapan mereka untuk mengikutsertakan Ki Tanu Metir menjadi semakin tipis.
Apalagi ketika kemudian telah datang beberapa orang dari kademangan membawa makan pagi bagi laskar Sangkal Putung dan prajurit Pajang di banjar desa itu. Maka mereka tidak akan memerhitungkan kekuatan Ki Tanu Metir lagi.
Kepada laskarnya Widura berkata “Makanlah. Makanlah sekenyang-kenyangnya. Mungkin sehari nanti kalian tidak mendapat kesempatan untuk makan. Apalagi makan, minumpun belum tentu. Apabila kekuatan kita melampaui kekuatan lawan atau sebaliknya, maka pertempuran itu akan lekas selesai. Kalian akan menang atau akan kalah. Tetapi kalau kekuatan kita seimbang, maka belum mengalami kekalahan salah satu pihak harus berjuang dahulu sehari penuh. Nah, mudah-mudahan kekalahan itu tidak dipihak kita. Makanlah dan kemudian siapkan dirimu. Kalian besok harus berusaha sekuat-kuat tenagamu. Tetapi kalian tidak boleh melupakan, bahwa segala sesuatu tergantung kepada Yang Maha Pengasih. Karena itu berdoalah, semoga kalian dapat menyelesaikan tugas-tugas kalian”
Sejenak kemudian mereka telah tenggelam dalam kesibukan menyuapi mulut-mulut mereka. Citra Gati yang duduk didekat Sendawa berguman “Alangkah nikmatya makan pagi kali ini”
“Hus” desis Sendawa “Apakah makanan ini merupakan makanan terakhir yang dapat kau makan?”
“Jangan berkata begitu” sahut Citra Gati “Tetapi masakan kali ini memang lain daripada yang lain. Mungkin juga nasi hangat dan sambal lombok goreng ini benar-benar sesuai dengan suasanan yang dingin beku ini”
Keduanya tertawa. Dan keduanya menyuapi mulut-mulut mereka tanpa henti-hentinya.
Tidak terlalu jauh dari Sangkal Putung. Ditengah-tengah hutan yang tidak terlalu lebat, Tohpati duduk termenung membelai tongkat baja putihnya. Ia masih mendengar hiruk pikuk prajuritnya yang sedang menyusun diri.
Berbagai perasaan berkecamuk didalam kepala Macan yang garang itu. Baru saja ia menjatuhkan perintah terakhir. Siap untuk berangkat. Namun demikian, meskipun perintah itu diucapkannya dengan tegas, tetapi ia tidak dapat mengelabui dirinya sendiri. Hatinya selama ini selalu dibayangi oleh keragu-raguan. Peristiwa-peristiwa yang susul-menyusul disaat-saat terakhir benar-benar sangat mempengaruhinya. Ia mendengar berbagai tanggapan atas peperangan yang masih saja dilanjutkannya. Mula-mula ia merasa bahwa ia harus berbangga, ia dapat bertahan sampai sekian lama sepeninggal Arya Penangsang. Bahkan laskar Jipang yang berserakan masih juga mengakuinya sebagai pimpinan mereka, sehingga kepadanyalah ketergantungan itu dipercayakan.
Tetapi Tohpati bukanlah seorang yang berhati batu berjantung kayu. Setiap kali ia melihat darah menggelimang diujung tongkatnya, setiap kali ia melihat mayat terbujur lintang. Bukan saja mayat-mayat prajurit yang bertempur dimedan-medan perang, tetapi ia pernah juga melihat mayat-mayat perempuan dan anak-anak yang terbunuh dalam kerusuhan-kerusuhan. Bahkan ia pernah melihat mayat seorang perempuan dan bayinya masih dalam pelukan. Tetapi mayat itu sudah menjadi arang.
Macan Kepatihan itu menarik nafas dalam-dalam. Tanpa disadarinya diamatinya tangannya. Besar dan kasar. Bulu-bulunya tumbuh hampir sampai ketelapak tangannya.
“Hem” geram Macan yang garang itu. Bulu-bulunya serasa tegak berdiri ketika tiba-tiba dikenangnya bahwa tangan itu pernah menampar pipi seorang perempuan muda. Demikian kerasnya sehingga perempuan itu pingsan. Dan tiga hari kemudian didengarnya bahwa perempuan itu mati.
Perempuan itu datang kepadanya sambil mengumpat-umpatinya. Dituding-tudingnya wajahnya sambil mengucapkan sumpah serapah yang paling menyakitkan hati.
“Tohpati” berkata perempuan itu “Kau bunuh suamiku itu”
Tohpati menggeleng-gelengkan kepala. Seakan-akan perempuan itu berdiri dimukanya kini. Suaminya, yang baru saja mengawininya, terbunuh dimedan perang. Dan perempuan itu menyalahkannya.
“Ketamakanmu atas kekuasaan telah membunuh suamiku” berkata perempuan itu “Kaulah yang kelak akan menjadi adipati menggantikan Adipati Jipang, tetapi suamiku yang kau korbankan”
Pada saat itu Tohpati tidak mau mendengar perempuan itu berteriak-teriak sehingga tanpa disadarinya, terbakar oleh kemarahan yang memuncak, perempuan itu ditamparnya. Tetapi sama sekali ia tidak bermaksud membunuhnya.
“Perempuan itu bukan satu-satunya” desisnya “Ada sepuluh, seratus bahkan ribuan perempuan yang menangisi kematian suaminya. Tetapi perempuan-perempuan Pajang, perempuan-perempuan Sangkal Putung menangisi kematian suaminya dengan kebanggan didalam hati. Meskipun mereka menangis, tetapi mereka dapat berkata “Kematianmu adalah tawur bagi sawah ladang, kampung halaman. Kematianmu akan dikenang seumur negeri ini”
Tohpati mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Sanakeling berteriak memberikan aba-aba. Sesaat kemudian terdengar suara Alap-alap Jalatunda menyahut, dan kemudian yang lain-lainpun terdengar meneruskan perintah Sanakeling itu.
Tohpati menarik nafas dalam-dalam. Perintah itu adalah perintah mempersiapkan diri untuk segera berangkat ke Sangkal Putung. Tetapi Tohpati seakan-akan masih saja terpaku diambennya. Ia masih duduk termenung sambil membelai tongkat berkepala tengkorak kuningnya. Ia masih tenggelam dalam seribu macam kenangan. Bahkan sejak ia menjadi prajurit dalam kadipaten Jipang. Pada masa Demak masih mengumandang namanya, kemudian datanglah bencana itu. Perang saudara antara Jipang dan Pajang ketika tahta Demak kosong sepeninggal Sultan Trenggana yang gugur. Dan kini ia tinggal didalam barak ilalang dengan orang-orang sekasar Sanakeling, selicik Alap-alap Jalatunda dan setamak dirinya sendiri.
Kembali Tohpati terkejut ketika ia mendengar seseorang memasuki gubug itu. Ketika ia berpaling dilihatnya Sanakeling berdiri diambang pintu dengan wajah berseri-seri.
“Semuanya sudah siap kakang Tohpati. Kita menunggu perintah untuk berangkat”
Tohpatipun kemudian tegak berdiri. Sekali ia menarik nafas pula sedalam-dalamnya. Kemudian terdengar ia menggertakkan giginya. Ia ingin menindas setiap perasaan yang dapat mengganggunya. Karena itu sebelum ia bertempur melawan orang-orang Pajang dan Sangkal Putung, ia harus memenangkan perasaannya lebih dahulu.
Tetapi alangkah sulitnya. Ia tidak dapat mempergunakan senjatanya yang mengerikan itu dalam pertempurannya melawan perasaanya sendiri.
Namun tiba-tiba Tohpati itu berteriak keras-keras sehingga Sanakeling terkejut “Siapkan mereka!. Aku segera akan datang!”
“Baik kakang!” sahut Sanakeling yang tiba-tiba berteriak pula tanpa disengajanya.
Ketika Sanakeling kemudian lenyap didalam kelam diluar barak itu, maka Tohpatipun kemudian melangkah perlahan-lahan. Sampai diambang pintu ia berhenti sesaat. Ia tidak tahu kenapa ia berpaling. Kenapa tiba-tiba ia ingin memandangi segenap isi ruangan itu. Lampu minyak. Tiang-tiang bambu. Sebuah gelodog bambu disudut dan sebuah gendi diatasnya. Amben bambu tempatnya berbaring tidur. Itu saja.
Baru Tohpati itu melangkah keluar.
Hatinya berdesir ketika didalam cahaya obor ia melihat berbagai macam umbul-umbul, rontek dan tunggul-tunggul. Terasa sesuatu yang aneh merayap didalam hatinya. Ia sama sekali tidak memerintahkan untuk membawa segala perlengkapan upacara perang itu. Tetapi agaknya perintahnya untuk membuat gelar yang sempurna telah menumbuhkan perintah pula untuk membawa segala macam tanda-tanda kebesaran Jipang, meskipun umbul-umbul dan rontek itu sudah menjadi kumal karena tidak terpelihara. Namun bahwa barang-barang itu dapat diselamatkan telah membesarkan hatinya pula.
“Itu adalah jasa paman Sumangkar” gumamnya didalam hati.
Sementara itu Tohpati diam mematung. Diamat-amatinya seluruh pasukannya yang telah siap menunggu perintahnya. Tiba-tiba hatinya merasa tersentuh oleh kesetiaan laskatnya itu. Meskipun keadaan mereka telah jauh terperosok dalam kesulitan yang sangat, namun dibawah panji-panji kebesaran Jipang, terasa seakan-akan ia benar masih seorang senapati perang yang berwibawa.
Sebenarnya bahwa Macan Kepatihan itu masih memiliki kewibawaab diantara anak buahnya, sehingga apapun yang diperintahkannya akan dilakukan. Dan kali ini pasukan itu menunggu untuk berangkat menggempur laskar Sangkal Putung yang dipimpin oleh seorang senapati muda bernama Untara.
Dimuka pasukannya itu telah berdiri Sanakeling. Dilambung kirinya tergantung sebilah pedang dalam wrangka putih mengkilat, dan dilambung kanannya, pada ikat pinggangnya tergantung sebuah bindi dari kayu berlian berlapis besi berjalur-jalur. Bindi itu ditangan kiri Sanakeling kadang-kadang dipakainya sebagai perisai untuk menangkis serangan lawan namun apabila bindi itu menyentuh tubuh lawannya, maka akibatnya tidak kalah berbahaya dari pedang ditangan kanannya.
Agak jauh dibelakang dilihatnya belahan pasukannya dibawah pimpinan seorang anak muda yang bermata tajam setajam mata burung alap-alap. Sebenarnya anak muda itu berbangga apabila orang menyebutnya Alap-alap Jalatunda. Dengan penuh dendam ia mengharap dapat bertemu lagi dengan Agung Sedayu. Kali ini ia mengharap bahwa ia akan dapat menebus kekalahannya. Setelah dengan tekun ia melatih dirinya sendiri hampir siang dan malam, maka sudah tentu ia memiliki kemampuan yang bertambah-tambah.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

sip ... sip ... tiap pagi dikantor kalo masih sepi sarapan dulu baca ADBM ..... matur nuwun, tetap semangat